Teringat suatu kali seorang teman kosan menanyakan bagaimana perasaan saya melihat Agnes Monica yang sudah sukses, sementara saya yang jelas-jelas seangkatan dengan penyanyi itu masih berkutat dengan skripsi. Bukannya jawaban yang keluar, tetapi saya cuma bengong. Enggak tahu harus memberikan respon seperti apa.

Kalau diingat-ingat, sih, emang kesal. Namun, patut bersyukur juga soalnya setelah Agnes mengubah nama belakangnya saya pun makin tertantang untuk ikutan go international. Yah, jalan hidup saya dan si penyanyi itu memang beda, tetapi kami sama-sama pernah (untuknya mungkin masih) mengecap bekerja di lingkungan internasional. Ehem…

Kalau pergaulan dia kebanyakan di dunia menyanyi, sementara saya lebih ke pergaulan kuli. Hihihi…

Selama di Australia saya selalu hampir bekerja di sektor perkebunan, mulai dari memetik cherry, memanjat pohon jeruk, bermain-main dengan beras, sampai mengepak ubi (akan saya ceritakan terpisah). Semua pekerjaan tersebut memberikan saya akses bekerja sama dengan pekerja dari banyak negara di dunia yang berasal dari benua Eropa, Asia, Amerika Selatan, dan pastinya Australia.

Banyak gaul jadi banyak tahu. Betul. Karena banyak gaul itulah saya merasa percaya diri dan tidak melulu melihat semua orang barat memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding saya. Yah, mohon maklum karena untuk urusan yang satu ini orang Indonesia selalu saja memandang dirinya di bawah orang-orang barat. Padahal, mah, sama aja. Drama yang tercipta antar rekan kerja pun sama bikin kesalnya.

https://www.instagram.com/p/0_YlfJPyJC/?taken-by=efi.yanuar

Salam Kenal, Sampai Jumpa

Saat bekerja di kebun cherry, sebenarnya ada dua pejalan lain yang sudah berada di kebun sebelum kedatangan saya. Hari pertama saya sampai di kebun, saya tidak sempat bertemu dengan dua orang Perancis tersebut. Baru keesokan harinya kami bertemu saat sama-sama hendak menyiapkan sarapan.

Mengingat saya akan bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama, maka saya pun beranggapan kalau mereka akan menjadi teman sepermainan selama musim panen cherry. Makanya saya langsung memberikan satu dari dua orang Perancis tersebut senyuman sambil bilang ¨selamat pagi!¨

Bukannya mendapat senyum balasan. Si dia malah bertanya dengan nada menyudutkan.

¨Did you take my soya milk from the fridge?¨

Ya elah, pagi-pagi sudah bikin suasana enggak enak. Untuk pertanyaannya itu saya menjawab jujur kalau tidak pernah menyentuh sekalipun susu kacang kedelainya. Demi menguatkan argumen saya bilang kalau tidak mengonsumsi susu jenis tersebut.

Hanya butuh satu kejadian tidak mengenakan dan berhasil membuat saya ogah menjalin hubungan baik sebagai rekan kerja dengan mereka. Saking kesalnya saya merepet kepada seorang teman.

¨Ya, mbok ya mikir. Gw, kan, baru sampe masa udah mau curi-curi? Lagian kalau emang gw nyuri juga baru sekali dan seteguk dua teguk susu itu berapa sih harganya? Sakit hati amat, sih, kehilangan susu? Dulu nenek moyangnya malah mencuri lebih banyak dari sekadar susu!¨

Sebulan lamanya kami bekerja bersama, tidak sekalipun saya mau membuka pembicaraan dengan mereka. Sampai sekarang pun saya tidak tahu nama mereka. Enggak penting.

https://www.instagram.com/p/8q8fPavyCJ/?taken-by=efi.yanuar

Sekop Yang Tertukar

Saya sudah cerita, kan, kalau saat bekerja di pabrik beras saya menjadi satu-satunya perempuan. Terkadang keadaan tersebut memberikan keuntungan bagi saya, jarang diberikan pekerjaan berat. Ya, karena dianggap cewek enggak bisa kerja berat, yang dimaksud berat di sini adalah urusan angkat-mengangkat, ya. Kalau di suruh kerja jam panjang, sih, saya masih sanggup sama seperti para lelaki itu.

Lingkungan kerja ini sangat menarik karena rekan kerja berasal dari Australia, Wales, Perancis, juga Jerman. Saat itu juga, keinginan saya bekerja dalam lingkungan multinegara pun terwujud. Walaupun enggak bisa dikatakan representatif, setidaknya setiap orang menjadi duta kerja negaranya masing-masing. Kalian tenang saja, saya enggak bikin malu nama Indonesia, kok. Hehehe…

Pastilah sering mendengar kalau kinerja orang-orang Jerman itu sangat efisien. Pokoknya segala sesuatu yang merupakan produksi negara der panzer tersebut dianggap memiliki kualitas tinggi. Sayangnya teman kerja saya tidak demikian.

Bukan hanya saya yang mengeluh, tetapi hampir semua rekan kerja saya pun ogah kalau harus berada satu tim dengan mereka. Berkali-kali saya menenangkan diri sendiri saat melihat tingkah laku anak-anak baru gede itu. Iya, mereka berlima baru saja lulus SMA dan terlihat sekali masih senang bermain dan sulit diajak serius.

Sampai suatu hari saya tidak bisa meredam emosi dan untuk kali pertama dalam beberapa tahun saya berteriak saking kesalnya sampai-sampai badan bergetar. Masalahnya sepele sekali tetapi saat itu saya pikir satu-satunya cara untuk membela diri adalah dengan berteriak.

Jadi begini, suatu hari kami ditugaskan untuk meratakan gundukan beras di salah satu gudang penampung. Kami masing-masing membawa sekop sebagai peralatan ¨perang¨. Namun satu di antara para bocah tidak membawa sekop dan meminta sekop yang saya bawa. Tidak saya berikan karena saya mau bekerja, kalau tidak ada sekop saya masa harus diam saja. Males.

Seingat saya ada sekitar sepuluh orang yang seharusnya bekerja saat itu, namun hanya separuhnya yang benar-benar bergerak menjalankan amanah atasan. Yang lain? Yah, namanya juga bocah, ya main-mainlah mereka. Saya cuek saja.

Setelah beberapa saat, saya memutuskan untuk rehat sambil mengecek ponsel. Tidak berapa lama kemudian seorang dari bocah tersebut datang menghampiri saya dan menukar sekop yang saya gunakan dengan miliknya. Saya tidak akan marah kalau sekop yang ditukarkan sama baiknya. Nyatanya bocah itu tidak nyaman dengan sekop miliknya, melihat saya sedang rehat dia pun dengan seenaknya menukar dengan milik saya.

“I want you to swap back my shovel, NOW!”

“Don’t play around with me. I’m not joking!”

“Don’t act like a fool. If you want something better for you don’t steal from other!”

“You are not telling me what to do with my tools. Bring that shovel back here!”

“I warn you, you won’t be happy if I come near you to take back my shovel”

Perlu waktu lima menit sampai si bocah menyerah dan mengembalikan sekop saya. Selama saya berteriak dia bergeming dan beralasan kalau hanya akan menggunakan sekop itu barang sebentar. Ia pun bilang kalau tidak ada salahnya menukar sekop toh saya sedang rehat. Bukan itu intinya. Saya mempermasalahkan cara dia mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Entah mengapa dia memilih saya menjadi target, padahal banyak pekerja lain yang tidak bekerja dan menganggurkan sekop milik mereka.

https://www.instagram.com/p/BB3wjkPvyCh/?taken-by=efi.yanuar

Manusia Robot

Separuh pertama masa perantauan di Australia saya banyak bekerja dengan mereka yang memiliki budaya barat. Paruh kedua saya berkesempatan bekerja dengan pekerja berbudaya timur. Rekan kerja saya kali itu berasal dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong.

Pekerja asia memiliki reputasi yang baik di mata para bos Australia karena kecekatan mereka dalam bekerja. Saya pun pernah mendengarnya, namun tidak terlalu menganggap hal itu serius sampai melihat cara kerja mereka dengan mata kepala sendiri.

Resik. Rapi. Efisien.

Tiga kata di atas cukup merepresentaikan cara kerja teman-teman saya itu. Meski mereka masih bisa mengobrol di sela-sela bekerja, mata dan tangan mereka tetap awas dalam menyortir ubi saat pengepakan. Benar-benar seperti robot. Bos saya pun pernah bilang kalau dia lebih memilih pekerja dari asia karena mereka benar-benar bekerja. Karena saya punya pengalaman bekerja dengan orang-orang eropa saya pun mengamini pendapat bos.

Menurut pengamatan saya, pekerja asia jarang mengeluh dan selalu berusaha bekerja sekuat tenaga. Berbeda dengan pekerja eropa yang terlalu banyak komentar akan segala hal yang berbeda dengan negara asalnya. Kadang ada yang bilang kalau mereka hanya bersikap kritis, tetapi kalau banyak komplain kapan kerjanya, ya kan? Eh tapi kadang orang asia sering dimanfaatin juga, sih, karena mereka terlalu nrimo dan malas berargumen.

Pengalaman saya ini sangat subyektif dan tidak bisa dijadikan repreentasi etos kerja dan pribadi para pekerja internasional dari negara lain. Bisa jadi pengalaman tidak mengenakan saya bekerja dengan pekerja asal eropa dikarenakan kami bekerja di sektor informal. Status mereka sebagai pejalan pun membuat gaya hidup mereka lebih santai. Toh mereka datang ke Australia bukan untuk meniti karier. Mereka bekerja pun bertujuan untuk mendapatkan tambahan dana untuk mendanai penjelajahan di benua kangguru tersebut.

Mungkin saja pergaulan internasional saya akan menghasilkan cerita yang berbeda kalau kami menjalankan pekerjaan yang lebih formal. Ah, meski demikian saya sudah punya pengalaman go international. Jadi kalau nanti ketemu lagi dengan teman ko yang dulu saya bisa bilang, “panggil saya Efi Mo!”

Published by

2 tanggapan untuk “Pergaulan Internasional”

  1. omnduut Avatar

    Menarik menarik menarik 🙂

    Ditunggu cerita lainnya. *Secara, nganu….

Tinggalkan Balasan ke raunround Batalkan balasan