Sudah umum kalau kita merencanakan perjalanan pasti melakukan riset telebih dahulu. Apakah tempat tujuan aman? Apakah mudah diakses dengan kendaraan umum? Mudahkah mencari makanan sesuai selera? Dan pertanyaan yang paling utama dalam daftar saya adalah: apakah tempat tujuan tergolong masuk anggaran belanja saya?

Berbekal informasi yang didapat biasanya kita akan mendapat gambaran umum soal tempat tujuan. Ada yang sesuai informasi awal, ada juga yang malah kecele. Oleh karena itulah, teori relativitas itu berlaku di sini. Semoga om Einstein tetap tenang di alam sana walau teorinya saya catut serampangan. Hihihi…

Perhatikan Bibit, Bebet, dan Bobot

Seberapa jarang, sih, kita mendengar tentang tingginya tingkat kebersihan India? JARANG BANGET! Setiap membaca curhatan para pejalan ke India pasti saja akan mengeluhkan soal betapa rendahnya standar kebersihan negara tersebut. Dari beberapa pengalaman banyak orang yang saya baca selalu saja disarankan untuk menghindari meminum air dari keran langsung.

Bagi pembaca yang berasal dari budaya barat, tentu saja mereka akan terkaget-kaget membaca saran tersebut. Iyalah, karena bagi sebagian (besar) mereka, air keran itu sumber air langsung minum. Nah, bagi kita orang Indonesia tentu saja saran untuk tidak langsung meminum air mentah, yah, ditanggapi dengan biasa aja. Khususnya saya yang lahir dan besar di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat air untuk minum ya harus dimasak dulu. Ya, kan?

Suatu kali saya menginap di rumah teman, itu loh rumah yang jadi saksi bisu saat saya diinterogasi inspektur Vijay polisi India, saya malah disuruh membuang air dalam kemasan yang saya bawa. Teman saya itu dengan jumawanya bilang kalau dia punya air yang minum yang lebih kece. Dia membuka keran, menampung air ke dalam gelas, dan menyuruh saya minum. Kebetulan sedang haus saya pun langsung minum, sudah lupa dengan saran: jangan minum air keran di India dan harus rebus air dulu.

Dan ternyata air tersebut sangat segar. Mungkin air tersegar yang pernah saya minum. Rasanya seperti berpuasa seharian dan ketemu air dingin. Wajar sih kalau teman saya itu jumawa, ternyata di dalam propertinya dia memiliki sumber mata air. Saya diajak melihat mata air tersebut dan melongo melihat cantiknya warna air tersebut, biru muda dan jernih. Saya coba melempar sebiji jagung ke dalamnya, meskipun sudah tenggel cukup dalam si biji masih bisa terlihat. Keren banget, kan? Itu kejadian di India, loh.

Seberapa Murahkah Murah itu?

Saya nemu video di atas di grup tukang jalan juga. Highlights dari video di atas adalah semangkuk mie di Thailand seharga 12 THB atau setara 4.000 IDR. Melihat harga tersebut saya kaget, kok, bisa murah banget. Biaya makan di Thailand memang murah tapi apa iya ada makanan semurah itu dan di kota besar semacam Bangkok.

12 Baht for a bowl of noodle is cheap. But, it seems like people tend to have more than just one bowl, perhaps it is really delicious and people can’t get enough of it or the portion is too small and not filled their stomach up. – Efi-

Pertanyaan saya dijawab oleh seseorang yang tahu soal restoran mie di atas. Menurutnya porsi mie tersebut sangat kecil. Dua kali suapan juga sudah habis. Oleh karena itu harganya murah.

Nasi kucing juga murah. Di dekat rumah orang tua saya di Jakarta setangkup nasi kucing cuma 2.500 IDR. Tapi mana bisa saya makan cuma seporsi? Hahaha… harap maklumlah, anaknya gembul.

https://www.instagram.com/p/tM9s54PyKd/?taken-by=efi.yanuar

India pun selalu dibilang negara yang sangat murah. Tapi saya enggak selalu setuju dengan pendapat itu. Contohnya kembali soal makanan ya. Untuk sekali makan bisalah kita menghabiskan duit di kisaran 10-25 INR atau setara 2.000-5.000 IDR. Murah ya? E jangan senang dulu karena yang disajikan itu biasanya berupa idli, paneer poori, parata dengan kuah kari, nasi dan telur kari, dan semacamnya. Ya, wajarlah harganya segitu. Lah wong bahan pembuatan makanan di atas cuma tepung-tepungan.

https://www.instagram.com/p/pc3EEmPyGu/?taken-by=efi.yanuar

Cerita lain. Saat berada di Australia saya harus sering-sering menahan diri untuk jajan. Sayang duit jadi alasan utama. Seporsi sandwich biasanya seharga 6 AUD atau sekitar 60.000 IDR. Kalau mau makan agak lengkap seperti burger plus kentang goreng bisa lebih dari 12 AUD. Suatu kali saya sedang ngidam gorengan, mampirlah ke restoran Asia yang menjual lumpia goreng. Duh, saya harus bayar 1,5 AUD buat satu lumpia. Di Indonesia dengan duit segitu bisa makan sate ayam enak.

Konversi yang saya lakukan cacat. Kalau mau bandingin dengan jumlah uang yang sama apa yang bisa dibeli di suatu negara tentunya kita harus mempertimbangkan faktor lainnya. Saat itu, 2015, upah minimum provinsi DKI Jakarta per bulan adalah 2,7 juta IDR. Sementara pada periode yang sama upah minimum di Australia rata-rata sekitar 16-17 AUD per jam!

Artinya, jika penduduk Australia kerja delapan jam sehari dengan upah 16 AUD per jam, maka setelah bekerja dua hari satu jam setara dengan bekerja sebulan di Jakarta. Kalau sudah begitu apalah artinya lumpia seharga 1,5 AUD?

Jauh atau Dekat

Dulu sekali saat mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Purwakarta, Jawa Barat, saya dan teman-teman bermufakat untuk tidak percaya perkataan orang lokal terkait jarak. Hal itu bermula ketika kami bertanya arah dan jarak tujuan kami. Si bapak dengan lembutnya bilang ¨cakeut, jang!¨ -dekeeeeet- begitu katanya.

Kepercayayaan kami luntur saat sadar kalau kami harus berjalan kiloan meter. Ternyata lokasi tujuan kami ada di balik gunung. Sejak saat itu kami ogah bertanya perihal jarak. Biarkan itu menjadi kejutan.

Pelajaran berharga tersebut pun saya ingat kembali saat berada di Australia. Negara benua tersebut luasnya ampun-ampunan. Selama di negara kangguru tersebut, saya selalu tinggal di kota kecil. Enggak sedikit orang-orang yang saya kenal itu sering pergi ke kota besar di akhir pekan padahal jaraknya itu ratusan kilometer. Misal, saat berada di Whitton, NSW, teman saya sering sekali main ke Melbourne yang jaraknya sekitar 450 km. Kejadian sama juga terulang saat tinggal di Bundaberg, teman saya yang suka party lebih suka melipir ke Brisbane yang berjarak 363 km.

Ngeuriii! Kalau saya sih udah remuk di jalan kalau tiap minggu harus nyetir sampe 700 km. Tapi, keranjingan para aussies terhadap jalan jarak jauh cukup beralasan sih, soalnya untuk Bundaberg-Brisbane bisa ditempuh dalam waktu empat jam. WOW!! Bahkan kalau mereka ngebut dan tanpa macet cuma butuh waktu tiga jam lebih sedikit. Hal tersebut memungkinkan karena jalan utama Australia relatif lurus tanpa liku dan mulus.

Umur Berkurang

Relativitas yang satu ini yang paling saya suka. Sering banget orang kecele dengan usia saya. Dulu sewaktu bekerja di Australia, saya sering dianggap baru umur awal dua puluhan. Teman kerja saya enggak menyangka kalau saya lebih tua beberapa tahun dari mereka. Bahkan ada seorang teman dari Jepang yang berusia 20 tahun menganggap saya lebih muda daripada dia.

Di antara teman-teman kaukasia pun saya dianggap masih anak-anak. Selain itu, perawakan saya saat itu pun kurus dan pendek untuk ukuran mereka. Enggak heran sih, karena kadang saya beli baju ukuran anak-anak, sementara saat di Indonesia saya selalu kesulitan untuk mencari baju ukuran besar.

Pernah suatu kali saya dan teman mampir ke bottle shop (toko minuman beralkohol). Karena ada wine yang murah saya pun membelinya. Ketika sampai di kasir, saya malah diminta menunjukan kartu identitas dengan tanggal lahir yang jelas. Tujuannya supaya si kasir yakin kalau saya sudah cukup umur untuk mengonsumsi minuman tersebut.

Sempat kesal dengan kejadian tersebut. Tetapi saya bersyukur atas gen asia yang saya miliki. Gara-gara gen tersebutlah banyak yang menerka umur saya lebih rendah dibanding angka sebenarnya.

Persentasi dan Angka Riil

Sering, kan, ya kalau kita mamu membuktikan banyak atau tidaknya sesuatu hal kita meggunakan persentasi. Misalnya pada iklan bimbingan belajar selalu ditulis ¨siswa didik kami lulus 100% ujian nasional¨. Siapa yang tidak tergoda dengan angka tersebut coba. Tapi semenjak ngobrol-ngobrol sama orang India saya tidak mau terlalu percaya dengan angka-angka yang terlihat terukur tapi saat melihat angka riilnya tidak terlalu representatif.

Dalam sebuah obrolan dengan orang India soal terorisme, isu terorisme ada juga di India apalagi di bagian utaranya, mereka dengan lantangnya bilang kalau tidak banyak teroris di India. Katanya cuma 2% dari penduduk India yang menjadi teroris (psst… omongan orang itu jangan dipercaya ya, saya enggak tahu dia dapat angka tersebut dari mana)

CUMA 2%!!! Apa yang perlu ditakuti, angkanya kecil gitu, kok.

Hellooow… penduduk India itu jumlahnya miliaran. Berapa sih sekarangnya angkanya? 1,252 miliar kalo kata Bank Dunia. Itupun data per 2013. Anggaplah angka tersebut tetap sama sekarang. Berarti ada 25 JUTA TERORIS! Ajegilee… penduduk Australia saja enggak segitu banyaknya.

Kalo tugas utama teroris adalah ngebom orang enggak berdosa dengan target 100 korban jiwa dalam sekali aksi berarti. Kalo ada 25 juta teroris, berarti calon korbannya ada…. Duh saya pun gak tega ngitungnya.

***

Lain ladang pasti lain juga belalangnya. Oleh karenanya akan sangat banyak faktor yang mempengaruhi manakah destinasi yang lebih murah, lebih nyaman, dan lebih mudah untuk dikunjungi. Karena relativitas itu juga seharusnya bikin kita lebih sering menelaah komentar atau pendapat orang lain tentang suatu tempat tujuan biar antara ekspektasi dan kenyataan enggak njomplang.

 

21 tanggapan untuk “Teori Relativitas Traveling”

  1. Fahmi (catperku) Avatar

    Haha kalau harga makanan dibikin murah tetapi porsiya sedikit mungkin itu strategi marketing kali ya. Kayak di deket rumah ada soto murah, enak, porsi gak seberapa banyak. Tiap kali beli paling gak ya dua porsi~~ 😀

    1. raunround Avatar

      ho oh, makanya gak jadi murah, kan.

Tinggalkan Balasan ke raunround Batalkan balasan