Saya bingung mau cerita apa ketika diajak menulis bareng epilog tentang pengalaman selama work and holiday di Australia. Ada beberapa alasan. Pertama, terakhir saya menjejak kaki di Australia itu 1,5 tahun lalu. Kedua, kayaknya klise banget cerita soal “galau” setelah WHV.
Lah, terus kenapa nulis juga akhirnya? Ya karena kadung janji dan lagi ingin ikut euforia ajah. Hihihi…
Sambil menunggu datangnya inspirasi mau nulis tentang apa, saya baca-baca tulisan teman-teman blogger mantan pemegang WHV. Rata-rata nih, mereka memang galau setelah masa tinggal berakhir. Ketika kembali ke Indonesia mereka harus kembali menyesuaikan diri dengan kondisi tanah kelahiran. Saya akui itu tidak mudah.
Contoh, saya pernah hampir ketabrak saat menyebrang jalan ketika lampu untuk pejalan baru berubah hijau. Sebuah mobil entah mengapa nyelonong saja padahal seharusnya dia berhenti.
“Kamu mau mati apa?”
“Salah saya apa coba. Lampunya sudah hijau!”
“Kamu sudah enggak di Australia lagi!”
Hal kecil seperti itu saja bikin rindu. Belum lagi hal-hal lain. Australia dengan segala keteraturan, kenyamanan, kebersihan, dan kemudahannya memang seperti zat adiktif. Membuat hampir semua orang ketagihan.
Dengan segala kemudahannya Australia memang melenakan. Enggak punya tempat tinggal tidak masalah, hanya perlu beli tenda di supermarket terdekat dan pergi ke camping ground gratis. Semudah itu.

Seperti yang saya tulis sebelumnya di sini kalau saya tidak berniat untuk hidup di Australia. Kalau sekadar jalan-jalan dan road trip saya mau. Tetapi kalau harus kerja atau belajar lagi saya ogah.
Gaya hidup sebagai pemegang WHV, dari sudut pandang saya, memang selalu memegang prinsip “let it flows”. Selain itu kita pun dengan sangat mudahnya terpapar gaya hidup bebas sebebasnya. Silakan melakukan apapun yang kamu mau tanpa ada orang tua atau tetangga yang akan kasih komentar nyinyir.
Tapi, hey! WHV itu ada masa berlakunya. Ketika semuanya berakhir ya kita harus cepat menyesuaikan dengan keadaan di daerah asal. Mau menjalankan gaya hidup let it flows seperti di Australia bisa saja, tetapi bakal banyak sandungan. Karena tidak akan semudah itu menjalankan gaya hidup di satu tempat ke tempat lain.
Pengalaman tinggal di Australia memang salah satu hal yang paling menarik dalam hidup saya. Bisa bekerja dengan upah yang bikin saya kaya mendadak. Bertemu dengan pejalan dari banyak negara juga memberikan saya sedikit gambaran tentang negara mereka dari hasil obrolan kami.
Dan, masih banyak lagi tetapi tidak usah dijabarkan panjang lebar karena nanti ada kecenderungan berlebihan. Saya tidak mau terlalu over idealizing kehidupan sebagai pemegang WHV. Karena hal itu bisa susah move on.
Bener loh, saya perhatikan para mantan pemegang WHV terkadang over idealizing Australia. Dan ketika harus putus hubungan malah jadi gamang. Sindrom pasca WHV pasti bakal mampir.
Status sebagai pemegang WHV memberikan imaji yang kurang tepat bagi para penonton. Maksudnya gini, dalam zaman imaji bisa kita ciptakan sendiri lewat media sosial mau tidak mau apapun yang kita publikasikan harus serba dipoles. Para penonton yang melihat publikasi pun akan terkesima dan membangun imajinasi tentang kehidupan WHV yang bagus-bagusnya saja.
Pernah saya baca ada seorang pemegang WHV asal Indonesia dengan tegas bilang “I am not a TKI, but traveler!”
Oh yeah, right!
Seberapa banyak sih, dari kita mau mengakui kalau sebenarnya kita sebenarnya TKI (tenaga kerja Indonesia) di mata pemerintah Australia. Sedikit. Ya karena emang label TKI enggak keren. Jauh-jauh ke Australia kok malah jadi TKI.
Misi dari WHV seperti yang tertulis di website imigrasi Australia adalah “pertukaran budaya”. Ya, pertukaran budaya di dunia kerja.
Tahukan betapa para pemegang WHV menjadi salah satu penyokong ekonomi Australia. Saya malas cari data tapi nilai saja betapa kalapnya para pemilik bisnis yang terkait industri pariwisata dan perkebunan yang menolak keras saat pemerintah Australia yang mau menaikan pajak bagi para pemegang WHV sampai 32,5%.
Kenapa mereka menolak? Kekhawatiran utama mereka adalah pemegang WHV mengurungkan niatnya untuk datang ke Australia untuk bekerja dan berlibur. Kalau hanya mengandalkan penduduk Australia sangat sulit, mereka pasti akan kekurangan tenaga kerja. Program WHV menjadi salah satu solusi untuk mendapatkan tambahan tenaga kerja secara mudah lagi murah.
Saya sih selalu mengaku TKI. Coba cek web Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang bahasa soal manfaat kerja di luar negeri ini deh. Kau malas klik, nih, saya kasih poin-poinnya:
- Membantu ekonomi keluarga.
- Membantu keluarga dan masyarakat dengan pengetahuan dan ketrampilan yang saya peroleh dari luar negeri.
- Menjadi lebih mandiri dan memiliki banyak inisiatif (wiraswasta).
- Memberikan pelayanan yang berguna bagi negara tempat saya bekerja, dan dengan demikian dapat membantu pembangunan negara tersebut.
- Mengenal kebudayaan dan bahasa negara lain.
Itu semua saya banget! Beneran TKI, kan? hihihi…
Yah, terlepas dari poin-poin di atas, saya memang sembaranganan kok melabeli orang. Jika seseorang punya visa yang memperbolehkannya untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk menyambung hidup ya cocok lah disebut TKI.

Lalu Berikutnya Apa?
Pertanyaan yang paling dibenci oleh para mantan pemegang WHV. Rasanya ingin jedutin kepala penanya ke tembok. Overly sensitive since we don’t know the answer.
Enggak bohong, sih, kalau saya juga sempat kena sindrom di atas. Tapi ya enggak bertahan lama karena saya tahu apa yang mau saya lakukan setelah WHV. Sayangnya banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan saat WHV berakhir. Saran saya sih, selalu ingat bahwa WHV itu cuma sementara. Maka dari itu, punya rencana lanjutan setelah rampung WHV sangat penting. Dan, yang lebih penting lagi adalah menjalankan rencana tersebut biar enggak keder. Udah itu saja. Ampuh.
https://www.instagram.com/p/8HwILavyE1/?tagged=merantau2014
Those who wander are not always lost
.: J.R.R Tolkien :.
Jangan serampangan mengamini kutipan di atas. Tanpa ada tujuan, kita pasti akan kesasar terus.
Tulisan ini merupakan colab bersama blogger mantan pemegang WHV tentang pengalaman setahun di Australia. Klik saja satu-satu ya biar berasa galaunya. Hehehe…
Bernadette: 6 Months and Ongoing
Hilal: Dadah Australia dan Selamat Datang Babak Berikutnya
Felita: WHV Story: See You When I See You Straya!
Vania: #Australia365Days
Rhein: One Year Later
Aku justru bercita-cita jadi TKI kak… sebab cara mudah merasakan kehidupan berbeda selain di Indonesia — sayangnya masih kendala ijin orang tua hehehe
wuih… tos
Semoga ada jalannya ya Mbak Eka. Semangaaat!!!
Well said Efi! Well said!!
sungkem kakak Hilal.
Hai kak! Salam kenal 🙂
Saya yang kebetulan baru mulai tahun ke-2 WHV juga mulai dilanda kegaualuan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas :)))
Sedang berusaha santai dan let it flow saja :”)
Good luck, kak!
Ayeey selamat galau! Semoga gak kelamaan yaa
All the best.
Hi. Aku jg mantan WHV. Dan sudah di Indonesia sejak 2 tahun. Mau dgr pengalaman teman2 mantan WHV yg lain. Gmna pengalamannya sekarng setelah sekian lama tinggal di Indonesia. Apakah pengalaman kerja selama di Australia menambah nilai plus utk melamar kerja terutama di perusahaan2 multinasional?
halo salam kenal. saya tidak punya pengalaman kembali bekerja di Indonesia euy, jadi gak bisa jawab banyak.