Mari kita anggap saja para pembaca sekalian sudah sering mendengar istilah begpacker. Oh, belum? Ya sudah cari tahu sendiri dulu ya, plis. Pokoknya dalam jagat perjalanan istilah ini lagi rame banget dibahas.

Saya juga pernah mengeluarkan unek-unek soal si begpacker ini ditulisan ini “Kalau Kere, Memang Kenapa?” Nah, sekarang saya mau bikin sekuelnya. Masih menyoal backpacker kere. Kenapa saya melulu bahas hal ini? Karena beberapa waktu lalu di grup Facebook pejalan yang saya ikuti lagi ramai bahas postingan di bawah ini.

Screenshot from 2018-03-01 12:22:11

Salah satu anggota grup menyebarkan postingan di atas ke grup yang punya nama awalan “Backpacker”. Seperti biasa saya suka melihat apa reaksi warganet. Dan, saya kaget sih, membaca komentar-komentarnya yang tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh pejalan asing itu.

“Turis, kok, kere?”

“Pergi jalan-jalan, kok, kehabisan uang?”

“Enggak punya uang, kok, enggak diem di rumah aja!”

“Kok, bule-bule itu kebiasaan memanfaatkan kebaikan orang Indonesia, sih?”

“Kok, malah dibantu sih? Seharusnya dibawa ke kedutaan mereka biar diongkosin pulang dan tidak bikin susah negara orang lain!”

Dan, masih banyak pertanyaan jenis “kok” lainnya di kolom komentar postingan tersebut. Saya sempat jadi ikut-ikutan mengajukan pertanyaan, “kok, warganet yang suka jalan-jalan ini judes-judes amat, sih?”

Ya enggak semuanya, sih. Malah ada yang mengklarifikasi kejadian sebenarnya karena yang bersangkutan bertemu langsung dengan bule yang ditolong pak polisi.

28166985_10215748307438634_7240461112932609666_n
Semua gara-gara salah komunikasi

Setelah membaca klarifikasi di atas saya ceritakan kasus ini ke Si Abang. Saya yakin pasti dia tertarik tema ini, karena dia sendiri adalah tipe pejalan dengan bujet minim. Gaya traveling doi memang minim bujet.

Hitchhike dan menginap di rumah orang lokal baik melalui Couchsurfing atau kenalan menjadi pilihannya. Sampai tulisan ini dibuat, Si Abang sudah hitchhike di lebih dari sepuluh negara di tiga benua.

Di negara asal Si Abang, Argentina, gaya traveling tersebut dianut oleh para mochilero (maskulin) dan mochilera (feminin), tanpa bermaksud meninggikan satu jender, setelah ini hanya akan disebut mochilero. Obrolan kami itu sangat menarik dan bikin saya ingin membagikan rangkumannya di sini. Mau ya baca? Mau dooong!

Pssst… tulisan kali ini kayaknya bakalan agak panjang. Tolong sediakan cemilan ya. :p

***

Saya: Seperti apa sih, budaya mochilero di Argentina?

Abang: Mochilero itu artinya backpacker dalam bahasa inggris, tipe pejalan berbujet minim yang selalu kelihatan menggendong backpack. Tapi, mochilero itu lebih mirip hitchhiker, pengelana yang memanfaatkan tumpangan dari pengendara baik motor maupun mobil untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Biasanya kami juga bawa tenda untuk beristirahat. Kalau ada lokasi yang cocok pasang tenda. Dan, sudah pasti minta izin dulu kalau mau mendirikan tenda di properti orang.

Di Argentina banyak yang seperti itu?

Banyak. Sudah ada dari dulu.

Apa, sih, ruh dari mochilero?

Enggak ada. Tidak seromantis itu. Intinya, sih, mochilero itu ingin bisa bertualang dalam jangka waktu yang lama dengan bujet minim.

Apa menariknya sih mochilero itu?

Gampangnya begini, deh. Kalau kamu melakukan perjalanan sejauh 1.000 km menggunakan pesawat, kamu enggak bakal ketemu banyak orang baru. Tapi sebagai mochilero yang menumpang kendaraan orang lain, kamu bisa ketemu dengan beberapa sopir yang berbeda yang memberikan kamu tumpangan. Selalu ada cerita menarik dari tiap sopir tersebut. Pengalaman kamu juga bakal lebih banyak.

Apakah mochilero enggak punya uang?

Ya enggak begitu. Mereka punya uang walau tidak banyak. Setiap pengeluaran pasti dihitung benar-benar. Ada prioritas pengeluaran. Saya pribadi berusaha untuk tidak mengeluarkan uang untuk transportasi dan akomodasi. Dua hal tersebut, kan, dalam pos pengeluaran traveling sangan besar porsinya. Jadi kalau bisa dihilangkan sama sekali ya, bagus banget. Saya lebih suka menyimpang uang untuk kebutuhan darurat.

Kalau kehabisan uang bagaimana?

Ya kerjalah. Kerja apa saja. Kalau orang Argentina biasanya juggling, mengamen, main musik, jual kerajinan tangan, atau kerja yang tidak ada yang mau kerjakan. Atau cara lainnya adalah dengan work exchange, kerja untuk kemudian dibayar dengan akomodasi dan atau makanan dari pemberi kerja.

https://www.instagram.com/p/BVXuQRKB5n-/?taken-by=efi.yanuar

Hal tersebut biasa ya dilakukan orang Argentina?

Biasa banget. Buenos Aires, kota asal saya, itu tingkat kesadaran keseniannya tinggi. Mudah sekali menemukan pertunjukan kesenian gratis di sudut-sudut kota, pun banyak macamnya. Jadi mungkin sudah biasa, ya. Bahkan saat zaman krisis dulu, banyak orang turun ke jalan buat cari uang dengan melakukan pertunjukan seni.

Kalau dilakukan di negara sendiri sih, enggak masalah ya. Tapi kalau di negara orang lain?

Ya, bisa dianggap ilegal. Apalagi kalau masuk ke negara tersebut dengan visa turis. Bahkan ada beberapa negara yang melarang kegiatan volunteer dilakukan oleh para turis. Tapi, kalau sekadar hitchhike dan numpang tidur mah, tidak melanggar hukum bukan?

Kalau kerja berarti mengambil pekerjaan orang lokal dong?
Orang dari negara dunia pertama enggak bakal datang ke negara dunia ketiga buat cari uang. Dan jaranglah yang ngemis, kalau adapun paling satu dari sekian ribu orang yang datang. Lagipula ya, seminim-minimnya bule kere traveling tetap saja mereka menghabiskan uang lebih banyak ketimbang rata-rata pendapatan upah minimum harian pekerja di Jakarta misalnya.

Lagipula ya, mochilero itu bukan mengemis. Tidak ada yang harus mengorbankan sesuatu untuk mochilero. Kami, kan, memanfaatkan kursi kosong dalam sebuah kendaraan. Bisa dibilang juga aktivitas ini malah ramah lingkungan.

Selain itu, saya lebih suka hitchhike ketimbang naik bus. Kenapa? Karena aktivitas ini bisa bikin kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa merogoh kocek dalam-dalam. Breaking the limit of traveling with no money.

Banyak orang yang tidak traveling karena mereka sudah nabung tapi bujet selalu tidak terpenuhi. Dengan hitchhiking bisa menekan pengeluaran.

Kesulitan apa saja yang kamu temukan sebagai mochilero?

Tidak semua orang tahu konsep hitchhiking. Pun tanda jempol ke atas tidak memiliki arti universal. Di beberapa negara mungkin bisa dianggap sebagai tanda meminta tumpangan, tapi jangan sekali-sekali menggunakannya di Afganistan, kalau tidak salah simbol tersebut serupa dengan simbol jari tengah di negara-negara barat.

Selain itu, konsep menumpang gratis itu juga tidak dikenal banyak orang. Misal, saat saya di Peru, saya harus bertanya ulang apakah tumpangan tersebut gratis kepada orang yang bersedia mengangkut saya. Dan, umumnya mereka menolak memberikan tumpangan gratis.

Di Indonesia pun sama. Saya sempat bertanya kepada beberapa orang apa padanan kata hitchhike dan tidak ada yang tahu. Akhirnya saya memakai istilah “jalan kaki” atau “jalan gratis”, tetapi tetap banyak yang tidak mengerti. Malah ada yang membawa saya ke terminal bus. Untuk hal ini memang ada kendala bahasa untuk menjelaskan, sih.

Pernah suatu kali saya berada di pinggir jalan untuk mencari tumpangan, ada pengendara yang berhenti dan bilang kalau tidak ada kendaraan umum yang lewat di jalan tersebut. Saya menjelaskan kalau tidak sedang menunggu angkutan umum dan mereka berusaha meyakinkan saya 99,9% tidak akan ada kendaraan yang mau memberikan tumpangan. Tentu saja saya tidak percaya. Soalnya saya bisa sampai di titik saya berdiri karena mendapat tumpangan dari kemungkinan 0,1% itu.

Bagaimana pendapat kamu soal reaksi warganet soal turis asal Selandia Baru di atas?

Kalau menurut saya, sih, ada warganet yang tidak tahu soal konsep hitchhike. Mungkin secara umum tidak semua orang Indonesia tahu. Saya pernah hitchhike di Kalimantan, mobil itu berisi pekerja perusahaan telekomunikasi. Mereka bersedia membawa saya. Selama perjalanan pengemudi mobil terus-terusan bertanya bagaimana mungkin saya bisa traveling tanpa uang. Pertanyaan itu diajukan berulang-ulang dan membuat saya risih.

Saat itu, kondisinya saya punya uang tapi hanya untuk makan bukan untuk transportasi. Karena ditanya-tanya terus, rasanya saya ingin turun dari mobil. Saya kan, tidak punya kewajiban untuk menunjukan jumlah uang di dalam saku.

Saya masih ingat, saat itu sehari setelah idul fitri. Tidak banyak mobil yang lewat. Paling hanya lima mobil dalam sejam melintas jalanan buruk di utara Kalimantan itu. Malam sebelumnya saya dibolehkan tidur di tempat pemilik sebuah rumah makan. Perlu diketahui, mereka memperbolehkan saya tidur di tempatnya bukan karena saya bule, banyak juga orang Indonesia yang menginap, siapa yang mau bepergian gelap-gelapan dengan kondisi jalan yang buruk.

Nah, saat itu saya berpikir kalau sampai keesokan hari tidak dapat tumpangan barulah saya mengeluarkan uang untuk bayar transportasi. Pokoknya saya harus melanjutkan perjalanan. Eh, ternyata malah saya dapat tumpangan dari pekerja perusahaan telekomunikasi itu.

Ada yang berpikir tipe traveler macam kamu itu hanya memanfaatkan kebaikan orang Indonesia, loh. Bahkan ada yang pernah mergokin traveler asing yang pura-pura tidak punya duit, eh, malah dikasih duit sama orang Indonesia. Pendapat kamu?

Yang kayak begitu mah, dari dulu juga udah banyak. Siapapun bisa memanfaatkan orang lain, korbannya pun bisa siapa saja bukan cuma orang Indonesia.

Ada yang bilang traveling itu bukan kebutuhan pokok, malah termasuk katagori tersier jadi wajarlah kalau harus ada uang. Dan, mungkin, karena hal itulah para warganet sebal lihat low budget traveler… Yuhuuu

Ya kalau ada uangnya silakan. Tapi itu bukan gaya traveling saya.

Saya yakin, ketidaksukaan seperti itu datang karena mereka enggak pernah berada di posisi orang lain, enggak pernah hitchhike. Kalau sudah seperti itu menunjukan sekali inferiority complex orang indonesia terhadap bule.

Sebenarnya sih, ungkapan ketidaksukaan itu bisa keluar dari mulut siapa saja. Tapi, yang bikin saya kecewa adalah omongan tersebut keluar dari mereka yang tergabung dalam komunitas yang menamakan diri mereka “backpacker”. Ternyata traveling enggak berhasil membuat pikiran mereka lebih luas, ya?

Warganet berpikir banyaknya tipe pejalan macam kamu itu gara-gara pemerintah Indonesia terlalu murah dengan membebaskan visa bagi para pelancong. Ada yang menyarankan setiap turis seharusnya menunjukan jumlah uang yang mereka punya sebelum masuk Indonesia, seenggaknya USD 1.000. Pendapat kamu?

Kalau seperti itu bisa jadi malah bikin orang masuk Indonesia dong. Nanti mereka lebih pilih ke negara lain.

Mungkin enggak, sih, kalau orang Indonesia itu kurang berjiwa petualang?

Bisa jadi. Mungkin karena ikatan kekeluargaan kalian sangat erat. Soalnya saya sering dapat pertanyaan dari orang Indonesia dan juga penduduk negara Asia lain soal traveling. Mereka pasti nanya “keluarga kamu bagaimana?” dan dilanjutkan dengan pernyataan “saya, mah, enggak bisa ninggalin keluarga.” Ya, beda budaya, sih.

Kamu tahu enggak apa yang dipikirkan orang lokal yang kasih kamu tumpangan kendaraan dan tempat menginap?

Mereka asik-asik saja, tuh. Mereka senang bisa kenal orang baru dengan budaya yang berbeda. Saya juga lebih menikmati gaya traveling seperti itu. Bisa mengobrol dengan orang lokal dan membaur dengan mereka. Ada interaksi juga banyak tantangannya. Seru!

Dari beberapa pengalaman saya tinggal dengan orang lokal, orang-orang Indonesia yang paling menyambut saya. Kata mereka “guest is the king!”

Ada cerita nih, jadi setelah saya menumpang mobil pekerja perusahaan telekomunikasi, mereka menurunkan saya di sebuah mushola. Saya yang minta sih. Saat itu, sudah malam dan saya meminta izin untuk tidur di mushola dan diizinkan.

Pukul empat pagi saya dengar ada banyak orang bersiap untuk shalat. Saya bangun dan berniat keluar dari mushola, tapi tidak diizinkan. Mereka menyuruh saya lanjut tidur, mungkin karena saya terlihat masih lelah. Saya menurut. Dan, ketika bangun, di samping saya sudah ada nasi bungkus dan air minum.

Saya masih ingat isi nasi bungkus itu, ada telur, sepotong daging, dan tempe kecap. Beberapa waktu kemudian saya baru tahu kalau dalam Islam memang diwajibkan untuk menolong pejalan (musafir) baik memberi makanan dan atau tempat beristirahat setidaknya sampai dua hari. Saya senang. Mereka baik sekali.

Tapi, kan, traveler macam kamu itu tidak menghabiskan banyak uang di negara yang dikunjungi. Kan, tujuan pariwisata salah satunya untuk meningkatkan perekonomian warganya?

Walaupun sedikit tapi tetap ada, loh. Coba hitung, anggaplah akomodasi $5, makan sehari $5 terus belum lagi minum ini itu. Anggaplah sehari habis $15. Buat bule itu minim banget, tapi pasti lebih besar dari pendapatan rata-rata harian UMR kan?

Memangnya kamu pikir semua orang mampu bayar makan di restoran mewah? Para low budget traveler pasti cari makanan pinggir jalan yang murah. Pelaku industri sekala kecil pun ikut diuntungkan. Saya jadi heran apa sih sebenarnya yang dipermasalahkan warganet itu.

Jangan salah, loh, sekarang itu ada low budget travel industry yang saya yakin 30 tahun yang lalu enggak ada. Lihat saja sekarang, misal Bangkok, banyak yang menyediakan kebutuhan untuk para low budget traveler.

Contoh lain di Argentina yang banyak low budget traveler, sebelum tahun 2000-an tidak ada tuh yang namanya hostel. Sekarang saja mulai berjamur karena ada pasarnya. Oleh karena itu, kalo ada yang ngomong “kalo enggak punya duit banyak jangan traveling!”, eh tapi industri pendukung low budget traveler saat ini justru banyak.

***

https://www.instagram.com/p/BEM2yAMvyMF/?taken-by=efi.yanuar

Whoaaa panjang saja postingan kali ini. Tapi buat saya yang sedang jengah sama orang yang suka mengotak-kotakan orang gara-gara ketebalan dompet, maka pendapat Si Abang perlu saya publikasikan yang tentunya berdasarkan persetujuan doi.

Saya sendiri merupakan tipe pejalan yang harus punya uang sebelum bepergian. Saya belum pernah hitchhike karena bukan tipe orang penyabar. Lebih memilih untuk membayar ketimbang menantikan hal yang tidak pasti. Saya tidak suka kena PHP. Hihihi…

Seorang kenalan perempuan saya pernah bilang kalau dia tidak akan pernah hitchhike kalau hanya bepergian sendirian. Dan, dia tidak akan naik kendaraan pribadi. Buatnya truk lebih baik ditumpangi karena umumnya si pengemudi dalam kondisi bekerja dan tujuan mereka sudah jelas ketimbang mobil pribadi.

https://www.instagram.com/p/BEM2yAMvyMF/?taken-by=efi.yanuar

Setelah mendengar penjelas Si Teman dan Si Abang, saya jadi yakin kalau tiap orang itu punya gaya jalan-jalan sendiri. Meskipun terdengar seru, saya belum berani menyandang titel mochilera. Saya takut kalau saat saya menumpang nanti dirampok/ diperkosa/ dibunuh dan atau musibah menimpa saya bagaimana? Serem kan. Eh, ini mah sayanya aja yang cemen.

Ya intinya sih, apa yang cocok untuk orang lain belum tentu cocok untuk kita. Saya jadi penasaran sama warganet yang menyudutkan turis asal Selandia Baru itu, kira-kira mereka bisa enggak ya traveling gaya mochilero? Jangan-jangan mereka sama cemennya kayak saya.

Btw, akhirnya Si Abang tahu apa padanan kata hitchhike dalam bahasa indonesia. Saya yang kasih tahu.

“Oh, nanti saya praktikan di Indonesia. Boleh nebeng?”

 

_______________________________

Header image source: Pixabay

 

 

 

Published by

20 tanggapan untuk “Mochilero, Gaya Traveling Yang Perlu Kamu Tahu”

  1. Dzulkhulaifah Avatar

    Saya pun baru tau gaya traveling yang itu namanya mochilero. Semoga lancar-lancar ya perjalanannya 😛

  2. Kurnia Agung Pamungkas Avatar

    Sesekali nyoba gaya traveling kek gini asik juga kali ya. Hehe

  3. ekahei Avatar

    Idem sama tulisan ini…
    Setiap orang punya cara tersendiri dalam melakukan perjalanan. — makin ke sini aku makin bingung, apa-apa di nyinyirin hiks.
    .
    .
    Sejujurnya dulu sempat terpikir melakukan hitchhiking kemana gituh.. terus tinggal di rumah penduduk untuk beberapa hari , berbaur dengan masyarakat setempat. Bagiku entah kenapa perjalanan ala Mochilero mengasah sisi manusiawi untuk lebih peka. 🙂

    1. raunround Avatar

      Banyak polisi sekarang. Hahaha

      Betul banget Ka, gaya traveling gaya mochilero ini bikin kita tahu kondisi asli suatu tempat. Gak banyak “make-up” kayak tempat buat turis-turis.

  4. Endah Kurnia Wirawati Avatar
    Endah Kurnia Wirawati

    ahh sepertinya kita tergabung di grup yang sama mbak.. hehehe..
    saya sama teman-teman sendiri juga sering dicap backpacker kere karena sering nebeng di rumah teman atau tetangga. Yaa terserahlah.. yang penting saya jalan-jalan dan gak menyusahkan teman, keluarga apalagi orang lain.
    BTW, di Indonesia ada lho komunitas Hitchhiker Indonesia, salah satu anggotanya, cwe jilbaber, aktif hitchhiking di pulau Jawa dan Bali. pengen dah belajar sama dia, tapi waktunya gak sempat mulu euy..

    1. raunround Avatar

      Bisa jadi kita memang ada di grup yang sama. Hihihi

      Gemes ya kalau banyak polisi di grup. Semuanya serba salah.

      Saya pernah mau gabung sama komunitas hitchhiker Indonesia itu, Mbak. Tapi balik lagi ke masalah sayanya males ribet. Hahaha cemen banget deh.

      Kalo udah gabung grupnya ceritain ya pengalamannya. Salam buat mbak jilbabernya.

Tinggalkan Balasan ke Kurnia Agung Pamungkas Batalkan balasan